parboaboa

Saat Tenaga Dibayar Tenaga: Tradisi Haroan Bolon yang Masih Dipertahankan Warga Dusun Bornoh Simalungun

TIM Parboaboa | Daerah | 11-07-2023

Tradisi Haroan Bolon (tenaga dibayar tenaga) yang hingga kini masih diterapkan para petani di Dusun Bornoh, Desa Siporkas, Kabupaten Simalungun. (Foto: PARBOABOA/Patrick)

PARBOABOA, Simalungun – Masuk dalam kategori daerah terpencil, Dusun Bornoh, Desa Siporkas, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun masih mempertahankan tradisi-tradisi unik di tengah gejolak kemajuan zaman. Salah satunya tradisi ‘Haroan Bolon' yang saat ini masih diterapkan para petani Dusun Bornoh.

Haroan Bolon sendiri memiliki arti tenaga dibayar tenaga. Sementara saat ini kebanyakan dusun dan desa di Simalungun menerapkan sistem ‘Marombou’ yang berarti tenaga dibayar dengan uang.

Di tradisi Haroan Bolon, norma sosial menjadi acuan masyarakat Bornoh untuk menggarap sebuah lahan pertanian.

Norma sosial tersebut mulai dari kuantitas pekerja, pelaksanaan kegiatan, rotasi perputaran pekerjaan dan dana yang dikumpulkan dalam tradisi tersebut.

Dalam pelaksanan tradisi Haroan Bolon ini, ada modal sosial berupa kepercayaan antar sesama petani, petani dengan pengurus tradisi, petani dengan masyarakat lain dan kepercayaan terhadap peminjaman tenaga kerja tersebut.

Menurut Kepala Dusun Bornoh, Ruben Saragih, tradisi Haroan Bolon telah diajarkan orang tua mereka sejak lahir hingga saat ini. Tradisi ini bahkan masih dilaksanakan satu minggu satu kali di Dusun Bornoh.

“Biasanya kami Marharoan Bolon itu seminggu sekali, setiap hari Selasa mulai dari pagi hingga pekerjaan di ladang selesai. Biasanya setiap kami Marharoan Bolon, masyarakat yang ikut bisa mencapai 30 hingga 40 orang dan bergantian setiap minggunya,” tutur Ruben.

Tradisi yang sudah jarang dilakukan di era pertanian modern itu mengharuskan setiap unsur masyarakat terlibat dalam urusan pertanian di dusun tersebut, muali dari akses jalan menuju lahan, pengairan, perawatan, panen dan setelah panen.

“Minggu ini kami mengerjakan ladang si A, Minggu depan kami gantian mengerjakan lahan di B,” jelas Ruben.

Ia menambahkan, selain padi darat hasil pertanian lain yang dikelola masyarakat Dusun Bornoh yaitu cabai, jahe, petai, jengkol, kemiri dan durian. Masyarakat juga mengelola perkebunan karet di dusun tersebut.

“Kami juga punya lahan Padi Darat, namun hasil panennya bukan untuk dijual namun untuk dikonsumsi pribadi,” ucap Ruben.

Hal itu dikarenakan rendahnya harga produk pertanian yang mereka jual setelah panen. Masyarakat memilih mengonsumsi sendiri hasil pertanian mereka dibanding dijual.

“Ya pendapatan di dusun ini bisa terbilang rendah, contoh kami ini panen padi kalau dijual di tengkulak paling hanya Rp5000 per kilogram. Jika kami yang jual langsung ke Distributor di ibu kota Kecamatan Raya paling harganya hanya bertambah Rp300 hingga Rp500 saja per kilogram. Belum lagi nyewa pick up dan lainnya sudah berapa. Lebih baik kami konsumsi sendiri,” imbuh Ruben.

Adapun lokasi lahan pertanian masyarakat Dusun Bornoh ditempuh menggunakan sepeda motor, ditambah berjalan kaki. Jaraknya kira-kira 1,5 kilometer dari jalan utama dusun, yang panjangnya mencapai 5 kilometer.

Akses Jalan Rusak Hambat Distribusi Hasil Pertanian Warga

Warga Dusun Bornoh saat merawat lahan pertanian mereka. (Foto: PARBOABOA/Patrick)

Hanya saja, akses jalan utama yang rusak berat, menghambat distribusi hasil pertanian warga Dusun Bornoh.

Salah seorang masyarakat Dusun Bornoh, Martua H Lubis mengatakan rusaknya akses jalan juga membuat produksi hasil panen warga tidak maksimal.

“Setiap panen raya dari dusun ini hanya bisa memproduksi sekitar 300 kilogram hasil panen per jenis tanaman dan lahan. Mungkin jika digabungkan bisa sampai kurang lebih 1 ton,” tutur Martua.

Ia mengungkapkan, produksi pertanian di Dusun Bornoh juga masih sangat tradisional. Lagi-lagi karena akses jalan yang tidak memadai untuk dilalui traktor atau alat pengolah lahan lainnya.

“Contoh pada saat membajak ladang, kami menggunakan cangkul atau bahkan terkadang pakai kaki kami sendiri. Contoh lainnya kalau kami sedang panen padi, untuk memisahkannya menjadi beras, tidak ada kami yang menggunakan mesin penggiling atau apapun itu, kami pijak atau kami banting itu padinya biar terlepas” jelasnya.

“Semua kami masih tradisional, alasannya satu tidak cukup uang untuk membeli mesin, kemudian akses yang dilalui mesin seperti jetor atau mesin pertanian lainnya tidak ada,” tambahnya.

Tidak hanya itu, buruknya akses transportasi juga memengaruhi perekonomi masyarakat Dusun Bornoh.

Saat ini, pendapatan per kapita keluarga di Dusun Bornoh rata-rata hanya sekira Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulannya. (bersambung)

Laporan ini merupakan bagian kedua dari liputan khusus ‘Menilik Dusun Terpencil “Bornoh” di Simalungun’.

Reporter: Patrick Damanik

Editor : Kurnia

Tag : #dusun bornoh    #simalungun    #liputan unggulan    #akses jalan    #tradisi unik    #haroan bolon    #berita unggulan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU