parboaboa

Problematika Zonasi Pendidikan dan Konflik Agraria di Dusun Bornoh Simalungun

TIM Parboaboa | Liputan Unggulan | 11-07-2023

Aturan zonasi membuat murid kelas 6 dari Dusun Bornoh sulit diterima di SMP negeri. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik)

PARBOABOA, Simalungun – Mengenal Dusun Bornoh di Desa Siporkas, Kecamatan Raya, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara juga harus mengenal geliat pendidikan di sana.

Semangat anak-anak di dusun ini untuk belajar sangat tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan kerelaan murid sekolah dasar ini menempuh jarak 5 hingga 10 kilometer setiap hari demi mengenyam Pendidikan.

Bahkan ada istilah “pergi diantar, pulang jalan kaki” di kalangan anak-anak Dusun Bornoh karena jarak antara rumah dan sekolah mereka yang cukup jauh.

Hanya ada dua sekolah dasar di Desa Siporkas, Kecamatan Raya. Satu di Dusun Bah Pasunsang, satu lagi di dusun II Siporkas. Jarak SDN 091329 Bah Pasunsang berada di Dusun IV Bah Pasunsang sekira 5 kilometer. Sementara jarak SDN 091328 Buluraya lebih kurang 10 kilometer.

Bagi anak-anak di Dusun Bornoh, mereka setiap paginya diantar orang tua mereka, tapi pulang harus berjalan kaki sendiri. Dari kondisi itulah, istilah pergi diantar, pulang jalan kaki akrab di telinga generasi penerus bangsa ini. Namun tak jarang, siswa menumpang dengan warga yang satu arah dengan dusun mereka.

“Biasanya mereka itu pulang sekolah sekitar jam 1 siang, tapi karena berjalan kaki baru sampai di dusun sekitaran jam 4 sore,” tutur Nurpina, salah satu orang tua murid.

Jika bagi sebagian murid di Indonesia membawa bekal makanan ke sekolah, hal itu tidak berlaku bagi anak-anak dari Dusun Bornoh. Banyak dari siswa ini enggan membawa bekal makanan karena buku yang mereka bawa di tas sekolah juga sudah banyak.

“Mereka tahankan lah tidak makan siang dengan alasan di tas mereka sudah banyak barang bawaan. Tunggu sampai rumah lah baru makan siang, itupun sudah sore hari,” tutur Nurpina.

Saat ini sekitar 35 anak di Dusun Bornoh yang menjadi siswa di SDN 091329 Bah Pasunsang. Dari jumlah itu, ada 3 siswa yang akan meneruskan ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP).

Terkendala Kebijakan Zonasi

Kesulitan akses anak-anak di Dusun Bornoh menimba ilmu diperparah dengan kebijakan zonasi dari pemerintah, terutama bagi siswa yang akan melanjutkan Pendidikan ke jenjang sekolah menengah pertama (SMP).

Menurut Kepala Dusun Bornoh, Ruben Saragih, aturan zonasi membuat murid kelas 6 dari Dusun Bornoh sulit diterima di SMP negeri.

"Anak-anak kami yang sudah kelas 6 dan sebentar lagi masuk SMP sulit untuk bisa diterima masuk ke SMP Negeri karena aturan zonasi ini," katanya kepada PARBOABOA.

Aturan zonasi pendidikan yang diatur dalam Permendikbud Nomor 14 Tahun 2018 menetapkan adanya jarak maksimal dari tempat tinggal ke sekolah.

Ruben menyebut, aturan ini mempersulit anak anak di Dusun Bornoh untuk melanjutkan pendidikan di sekolah negeri.

"Jarak SMP dari tempat ini (Dusun Bornoh) sudah lebih dari 17 kilometer. Makanya susah anak-anak di sini untuk masuk ke SMP dan SMA Negeri karena aturan zonasi itu tadi," tambahnya.

Ruth Dianty Lubis (kiri) menyesalkan kebijakan zonasi yang mempersulit akses anak-anak untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMP dan SMA. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik) 

Keinginan mengenyam Pendidikan di sekolah negeri juga diutarakan siswa dari Dusun Bornoh, Tiurma. Ia sebelumnya telah menyelesaikan Pendidikan di jenjang sekolah dasar.

“Kalau pengennya sih bisa sekolah di negeri bang. Kalau di swasta kasihan orang bapak sama mamak. Soalnya harus bayar uang sekolah lagi tiap bulan. Uang sekolahnya kan bisa buat biaya hidup orang mamak sama bapak di kampung,” katanya.

Terpaksa Masuk Sekolah Swasta

Kondisi geografis desa dan tidak adanya sarana penunjang, terutama Pendidikan membuat masyarakat Dusun Bornoh tak punya pilihan. Belum lagi mata pencaharian sebagai petani menyulitkan orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah negeri yang hanya ada di ibu kota kecamatan.

Dengan sangat terpaksa warga Dusun Bornoh menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah swasta dengan biaya yang juga tidak sedikit.

"Kami tidak punya pilihan. Kalau anak-anak kami mau lanjut sekolah, harus di sekolah swasta karena sangat sulit untuk bisa sekolah di Negeri karena masalah itu (zonasi). Kalaupun ada yang dapat sekolah di Negeri dari dusun ini, hanya melalui jalur prestasi. Tapi berapa orang yang bisa lolos dari jalur prestasi?,” kata orang tua siswa, Nurpina Damanik.

Di sekolah swasta pun, orang tua harus mengeluarkan biaya ekstra. Apalagi karena tidak adanya sekolah tinggi di Desa Siporkas membuat anak-anak di Dusun Bornoh yang hendak melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya terpaksa menyewa kamar atau kos.

“Mau tidak mau, anak-anak kami harus bersekolah di swasta. Tapi kalau di swasta, kami harus membayar uang sekolahnya setiap bulan. Belum lagi uang kos dan uang makan mereka setiap bulan, karena sekolah swasta di sini sangat jauh dan tidak mungkin berangkat dari rumah. Kami terpaksa harus membayar uang sewa kosnya. Dengan pendapatan kami yang hanya sekitar satu juta rupiah sebulan, sangat berat bagi kami untuk menyekolahkan anak-anak di swasta. Bisa sih, tapi kami harus siap-siap tidak bisa makan,” kata Nurpina sembari tertawa getir.

Sebagai seorang ibu, Nurpina ingin anaknya terus bersekolah untuk bisa mengubah nasib keluarga mereka.

Nurpina Damanik, salah seorang orang tua siswa yang ingin anaknya terus sekolah ke jenjang lebih tinggi. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik) 

Hal yang sama juga diungkapkan orang tua siswa lainnya dari Dusun Bornoh, Ruth Dianty Lubis. Ia hanya ingin anak-anaknya mendapatkan hidup yang lebih baik dengan mengeyam Pendidikan tinggi. Ruth juga menaruh harapan anaknya bisa bersekolah hingga jenjang universitas.

“Kami hanya ingin anak anak kami bisa sekolah. Hanya dengan sekolah anak-anak di sini bisa mendapatkan hidup yang lebih baik daripada orangtuanya. Kalau kami sudahlah, tinggal menunggu waktu dipanggil Tuhan aja nya. Tapikan anak-anak kami masih punya harapan masa depan yang lebih baik. Kalau bukan lewat pendidikan lalu darimana lagi kami berharap? Harta enggak punya, tanah juga enggak punya,” imbuh dia.

Masyarakat Dusun Bornoh Terjegal Konflik Agraria

Kesengsaraan masyarakat di Dusun Bornoh masih berlanjut. Mereka kini harus dihadapkan dengan Konflik agraria, karena wilayah dusun yang masuk dalam Kawasan hutan.

Sekitar 63 KK penghuni dusun tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah atau surat keteragan tanah (SKT). Tidak hanya itu, kepengurusannya juga tidak diakomodir pemerintah setempat. Lagi-lagi dengan dalih dusun tersebut ada di Kawasan hutan.

“Padahal sudah dari zaman dulu udah ada dusun ini. Oppung Marlajar Saragih Sidauruk lah yang membuka dusun ini. Pilar-pilar sebagai tanda dusun pun,” jelas Kepala Dusun Bornoh, Ruben Saragih.

Kepala Dusun Bornoh Ruben Saragih (kanan) dan anggota Gapoktan Martua H Lubis. (Foto: PARBOABOA/Patrick Damanik) 

Ia mengungkapkan surat kepemilikan seperti sertifikat atau SKT penting bagi masyarakat Dusun Bornoh untuk melindungi hak kepemilikan tanah mereka. Ruben juga menyesalkan sikap dari kepala Desa yang enggan membantu warga Dusun Bornoh mengurus administrasi pertanahan mereka.

“Kami udah coba buat ngurus SKT ke Pengulu (Kepala Desa). Tapi Kepala Desa engga berani buat ngurus nya ( SKT) karena dari pihak Dinas Kehutanan Provinsi mengatakan dusun kami ini bagian dari daerah hutan. Kami pun tidak bisa apa-apa,” ujar Ruben.

Tanpa bukti kepemilikan yang sah, warga Dusun Bornoh rentan terhadap tindakan penggusuran yang sewaktu-waktu bisa dilakukan pemerintah atau pihak yang berkepentingan.

Perasaan terancam akan penggusuran dan tidak adanya jaminan kepemilikan di tanah yang sudah menjadi tumpuan warga selama puluhan tahun kini menghantui masyarakat Dusun Bornoh saat ini.

Bahkan tidak adanya kepemilikan lewat bukti yang jelas juga menyulitkan warga dusun mendapat bantuan.

 “Tahun kemarin adanya datang pihak dari Perusahaan Bridgestone ke sini. Mereka menawarkan untuk memberikan bantuan pemberian bibit pohon karet, pupuk, sampai pelatihan penanaman pohon karet disediakan oleh mereka. Tapi rencana dari mereka enggak bisa terealisasi di dusun ini karena kami enggak punya SKT. Pihak Bridgestone enggak berani ngasih bantuan karena mereka takut akan bermasalah dengan pemerintah. Padahal kami berharap bisa dapat bantuan dari mereka. Kalau dapatkan bantuan, kami pun bisa meningkatkan taraf hidup masyarakat di sini,” ujar Martua H Lubis, salah satu anggota Gapoktan yang ada di Dusun Bornoh.

Masyarakat pun berharap pemerintah bisa memberikan perhatian yang menyentuh semua sektor di dusun tersebut. Termasuk terkait kejelasan kepemilikan lahan masyarakat.

Masyarakat juga ingin pemerintah melibatkan mereka di setiap proses pembangunan dan pengembangan wilayah. Seperti dialog yang inklusif dan transparan untuk mencapai kesepakatan yang adil, terutama dalam mengatasi persoalan pertanahan.

“Tolonglah buat Pemerintah untuk membantu kami bisa memiliki sertifikat tanah. Dikitnya tanah yang kami minta. Itupun untuk kelangsungan hidup kami. Pemerintah jangan cuman  cepat ngasih lahan buat perusahaan-perusahaan tapi sulit sekali ngasih lahan buat masyarakatnya,” imbuh Martua H Lubis.

Beberapa situasi tadi menggambarkan bahwa kehidupan masyarakat Dusun bornoh masih jauh dari kata layak.

Infrastruktur jalan yang tidak memadai, jaringan komunikasi yang minim, pelayanan pendidikan yang tidak memadai, masalah zonasi pendidikan yang semakin mempersulit masa depan anak anak disana ditambah dengan ketidakjelasan dalam administrasi pertanahan menambah beban dan penderitaan warga Dusun Bornoh di Kabupaten Simalungun.

Laporan ini merupakan bagian akhir dari liputan khusus ‘Menilik Dusun Terpencil “Bornoh” di Simalungun’

Reporter: Patrick Damanik, Calvin Siboro

Editor : Kurnia

Tag : #dusun bornoh    #simalungun    #liputan unggulan    #problematika zonasi pendidikan    #konflik agraria    #berita unggulan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU