parboaboa

PSI Gagal Menembus Ambang Batas Parlemen, di Mana Jokowi?

Andy Tandang | Politik | 20-02-2024

Pertemuan Jokowi dengan anggota legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Medan. (Foto: Instagram/@psi_id)

PARBOABOA, Jakarta - Medio September 2023 lalu, tampuk kepemimpinan Partai Solidaritas Indonesia (PSI) bergeser ke tangan Kaesang Pangarep.

Meski banyak dirajam kritik lantaran proses yang serba cepat, kehadiran Kaesang tentu memberikan angin segar akan masa depan partai berlogo mawar itu.

Ada semacam optimisme bahwa posisi Kaesang sebagai putra presiden bisa dikapitalisasi sekaligus menjadi jualan utama partai. Kran politik istana pun bakal dibuka demi memuluskan langkah partai.

Problem elektabilitas memang jadi isu utama yang digodok internal PSI. Isu ini terus bergulir hingga Kaesang didapuk menjadi ketua umum partai lewat Kopi Darat Nasional PSI di Djakarta Theater, Jakarta Pusat pada Senin (25/92023).

Sebagai partai politik yang masih seumur jagung, PSI dipaksa putar otak. Dengan pengalaman politik seadanya, Kaesang harus memikul tanggung jawab yang dimandatkan partai.

Tuntutan untuk menembus ambang batas suara parlemen (parliamentary threshold) 4 persen menjadi agenda prioritas. Jika tidak, mimpi merebut kursi di Senayan bakal sia-sia.

Kaesang, yang hanya berselang tiga hari setelah menjadi anggota - diangkat menjadi ketua partai, mulai memetakan sejumlah strategi. 

Konsolidasi partai dilakukan. Solidaritas kader diperkuat. Sejumlah wilayah dikunjungi; mulai Papua, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT), Bali, Maluku Utara, Gorontalo, Manado dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia.

Parboaboa juga merekam beragam program strategis PSI sebagai jualan utama; sebut saja BPJS Gratis, kuliah gratis, revolusi sekolah, dan pengesahan RUU Perampasan Aset untuk menekan korupsi.

"Strateginya tentu saja dengan mensosialisasikan program-program utama PSI," jelas Ketua DPP PSI, Sigit Widodo, saat itu.

Sayangnya, perjuangan PSI belum berbuah manis. Ambisi merebut kursi di parlemen harus terhenti. Berdasarkan hasil quick count sejumlah lembaga survei, PSI hanya mendapatkan 2,84% dari total suara masuk sebesar 99,35%.

Kaesang rupanya masih optimis. Semuanya belum final. Ia berdalih, survei internal partai menunjukkan hasil yang berbeda, 5,1 sampai 6 persen, bahkan jauh di atas ambang batas parlemen.

Tingkat keterpilihan PSI yang cukup tinggi itu, kata Kaesang, tak lepas dari migrasi pemilih Jokowi dan sejumlah partai politik. Hanya saja, ia tetap meminta para kader untuk mengawal suara partai hingga KPU mengeluarkan perhitungan resmi.

Optimisme Kaesang justru ditepis Ujang Komarudin, Pengamat Politik dari Universitas Al-Azhar. Bagi Ujang, persentase quick count yang cukup melebar dari ambang batas menutup ruang PSI untuk berlabuh ke parlemen.

“Kalau kita lihat hasil quick count yang 2 persen itu, maka sulit untuk bisa nembus ke Senayan, karena margin eror itu 1%. Jadi, kalau dimain-mainkan apa pun ya 3%, tidak nembus ke 4%,” kata Ujang kepada PARBOBOA, Senin (19/02/2023).

Ujang memang mencium adanya upaya politik PSI untuk mendongkrak suara partai. Upaya ini pun bisa saja digarap dengan mengangkangi prosedur-prosedur demokratis melalui pelibatan istana. 

Jika hal ini terjadi, kata Ujang, kecurigaan publik akan semakin menebal, bahwa demokrasi hari ini - melalui instrumen kekuasaan, sedang dibajak demi kepentingan elit dan partai politik tertentu.

“Jangan juga kita berbuat curang. Intinya kalau quick count segitu. Kalau 4% tentu masyarakat akan curiga akan ada permainan dan sebagainya, bahaya,” tegas Ujang.

Di sisi lain, kegagalan PSI mendongkrak suara partai kembali memunculkan pertanyaan; sejauh mana peran Jokowi memaksimalkan mesin kekuasaan.

Ujang melihatnya dari beragam perspektif. Di tengah konstelasi pilpres yang cukup memanas, energi Jokowi banyak tersedot untuk mengurus kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang juga merupakan putra sulungnya.

Situasi ini membuat konsentrasi Jokowi terbagi. Pada akhirnya, kata Ujang, mantan wali kota Solo itu agak kesulitan untuk membantu PSI dalam menambal suara partai.

“Tidak semua bisa diurus oleh Jokowi. Mungkin Jokowi urus Pilpres memenangkan Prabowo-Gibran, tapi urusan PSI kan agak sulit,” ungkap Ujang.

Selain itu, sebagian publik masih melihat Jokowi sebagai kader PDI Perjuangan yang tidak mempunyai garis politik dengan PSI. 

Apalagi, PDIP, sebagai partai yang membesarkan Jokowi, juga belum memberikan klarifikasi utuh soal posisi mantan Gubernur DKI Jakarta itu di partai. Secara administratif, Jokowi masih menjadi bagian dari PDIP.

Karena itu, menarik Jokowi ke dalam lingkaran PSI justru tidak akan berdampak signifikan pada suara partai.

“Sepengathuan masyarakat, Jokowi masih PDIP, walaupun saat ini berbeda pandangan dan dukungan dengan PDIP,” kata Ujang.

Ujang juga menyentil soal kapasitas Kaesang secara organisatoris dalam mengelola partai. Pengalaman politiknya juga terbilang sangat minim. Hal ini tentu akan berimbas pada suara partai.

Padahal, pucuk kepemimpinan partai, kata Ujang, tak hanya mengandalkan kedekatan politik dengan kekuasaan, tetapi juga mempunyai pemahaman, baik dalam konteks kelembagaan partai maupun manajemen organisasi.

“Dia kan belum berpengalaman secara organisatoris, baru dua hari jadi anggota langsung dijadikan Ketum PSI,” tegasnya.

Ujang yakin betul, proses kaderisasi internal partai mesti dilewati dengan perjuangan panjang, bahkan hingga berdarah-berdarah. Kaesang, yang tiba-tiba memegang kendali partai sebagai ketua umum, bisa saja memicu kekesalan dan amarah publik. 

"Ketika dia (Kaesang) langsung Ketua Partai melali proses seperti itu, tidak terlalu suka." papar Ujang

Lucius Karus, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (FORMAPPI), juga melihat hal yang sama. Keberadaan PSI, meskipun dipimpin oleh Kaesang, tidak memberikan tren positif pada suara partai. 

Artinya, posisi Jokowi yang memiliki kedekatan, baik secara politik maupun biologis dengan Kaesang, tidak berdampak signifikan terhadap PSI.

“Jokowi effect nampaknya tak berpengaruh signifikan pada PSI pada Pemilu Legislatif 2024 ini. Suara PSI menurut Quick Count tak mampu mencapai ambang batas 4% sehingga tertutup peluang PSI masuk parlemen kali ini,” jelas Lucius kepada PARBOBOA, Senin (19/02/2023).

Menurut Lucius, fenomena  Jokowi Effect sebetulnya tak hanya dialami oleh PSI saja. Beberapa partai pun mengalami hal serupa. Di PDIP, semisal, tak ada efek dari pencalonan Ganjar-Mahfud, juga tak ada efek bergesernya Jokowi mendukung capres-cawapres yang lain. 

“Ada sedikit perubahan jumlah suara PDIP di Pileg tetapi nampak tak signifikan,” kata Lucius.

Begit pun Gerindra, yang juga masih berada  di level yang tak beda jauh dengan perolehan suara Pemilu 2019. Bagi Lucius, hampir semua parpol di parlemen tak banyak mendapatkan efek dari figur lain atau pengaruh eksternal. 

“Parpol parlemen masih dengan raihan seperti pada pemilu 2019,” tambahnya.

Lucius berpendapat, menipisnya pengaruh Jokowi terhadap suara PSI, hendak menunjukkan bahwa urusan pilpres dan pileg adalah dua hal yang berbeda. 

Di pileg, kata Lucius, para pemilih nampaknya tetap bertahan dengan pilihan pada figur caleg atau parpol karena alasan yang berbeda dari dukungannya pada capres-cawapres. 

Hal ini yang kemudian menjelaskan bahwa tidak ada korelasi yang searah antara capaian parpol di pilpres dan pileg. 

“Maka ngga ada urusan apakah PSI parpol Jokowi atau bukan, ya selagi nama caleg yang diusung PSI tak dikenal dan dipercaya, maka seperti itulah hasil yang dicapai PSI,” terang Lucius.

Editor : Andy Tandang

Tag : #pemilu    #psi    #politik    #jokowi    #quick count    #pilpres 2024   

BACA JUGA

BERITA TERBARU