parboaboa

Mengenal Rumah Adat Papua : Jenis, Fungsi, dan Filosofi yang Tersembunyi

Yesika Gulo | Pendidikan | 16-02-2024

ketgamb Ilustrasi rumah adat Papua (Foto: Parboaboa/Yessica)

PARBOABOA – Papua adalah wilayah bagian Timur Indonesia yang terkenal akan keindahan alam dan memiliki keunikan pada rumah adatnya.

Rumah-rumah adat ini mencerminkan budaya dan tradisi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Rumah adat Papua adalah lambang keberlangsungan budaya dan identitas suku-suku yang menghuni wilayah Papua.

Pembangunan rumah adat ini pun tidak hanya penciptaan bangunan saja, tetapi juga proses spiritual dan budaya yang melibatkan seluruh komunitas.

Setiap tahapan pembangunan dipimpin oleh pemimpin adat dan diawasi dengan cermat oleh masyarakat setempat.

Gambar rumah adat Papua mendeskripsikan kekayaan arsitektur tradisional dan keindahan alam Papua yang melimpah.

Papua memiliki berbagai jenis rumah adat yang masing-masing mempunyai ciri khas tersendiri serta memiliki cerita dan filosofi yang mendalam.

Nama-nama Rumah Adat Papua

Dengan kekayaan alamnya yang melimpah dan keanekaragaman budayanya menyimpan sejuta pesona yang luar biasa.

Salah satu aspek yang mencolok dari kekayaan budaya Papua adalah rumah adatnya.

Rumah adat Papua adalah manifestasi nyata dari kedalaman kultur dan kearifan lokal yang menghuni pulau tersebut.

Terdapat beragam jenis rumah adat yang ada di Papua, masing-masing memiliki ciri khas dan filosofi yang menarik untuk diketahui.

1. Rumah Honai

Ilustrasi rumah honai (Foto: Parboaboa/Yessica)

Rumah Honai merupakan salah satu rumah adat Papua Tengah yang menjadi ikon bagi masyarakat Papua dan seluruh Indonesia.

Rumah adat ini melambangkan kebudayaan Papua dengan sangat kuat dan sering diangkat sebagai representasi utama dari kekayaan warisan budaya Papua.

Dari segi linguistik, penamaan "Honai" terdiri dari dua kata, "Hun" yang berarti laki-laki dewasa, dan "Ai" yang bermakna rumah.

Sehingga, rumah Honai secara harfiah merupakan tempat bagi laki-laki dewasa.

Ini menandakan bahwa rumah Honai dikhususkan bagi kaum pria.

Rumah adat Papua ini tersebar luas di lembah dan pegunungan yang masih dihuni oleh penduduk setempat, terutama suku Dani.

Dinding melingkar rumah ini terbuat dari kayu kokoh yang diruncingkan pada salah satu ujungnya untuk menancapkannya ke tanah sebagai pondasi yang kokoh.

Lantai rumah dilapisi dengan rumput atau jerami, dengan tiang-tiang yang kuat dan tahan lama untuk menopang beban rumah.

Rumah adat Papua pegunungan ini hanya memiliki satu pintu tanpa jendela, dengan tinggi sekitar 2,5 meter dan luas sekitar 5 meter.

Dari kejauhan, rumah ini menyerupai bentuk jamur raksasa yang memberikan kesan sederhana.

Dilansir dari Buku Mengenal Rumah Adat Nusantara oleh Mia Siti Aminah (2011), rumah adat Papua yang berbentuk ingkaran ini punya struktur yang khas dan dapat menghangatkan penghuninya.

Atapnya yang berbentuk kerucut tumpul dirancang untuk melindungi dari cuaca dingin dan memudahkan air hujan untuk turun tanpa merembes ke dalam rumah.

Atap rumahnya terbuat dari daun sagu, jerami kering, atau ilalang.

Meski ilalang atau jerami tersebut terlihat rapuh, ujungnya yang tajam melambangkan sifat-sifat orang Papua, yaitu mandiri, kritis, kuat, dan mudah beradaptasi.

Di dalam rumah Honai, tidak ada kursi atau sofa. Tamu biasanya duduk di atas alas rumput atau jerami bersama tuan rumah, memupuk rasa kebersamaan.

Ukuran yang sempit bukan tanpa alasan, rumah adat ini terletak di tengah pegunungan yang dingin sehingga dibuat pendek dan sempit untuk menahan dinginnya udara.

Untuk mempertahankan suhu hangat di dalam rumah, api unggun sering dinyalakan di tengah-tengahnya.

Keunikan rumah adat Papua Selatan ini tidak hanya dari segi bentuknya, tetapi juga dari fungsinya.

Siapa sangka rumah kecil ini memiliki dua lantai dengan fungsi yang berbeda.

Lantai pertama digunakan sebagai tempat tidur, sedangkan lantai kedua digunakan untuk bersantai dan melakukan aktivitas keluarga.

Saat malam tiba, rumah menjadi gelap. Namun, tempat pembakaran di lantai pertama berfungsi sebagai sumber penerangan.

Selain sebagai tempat tinggal, rumah Honai juga digunakan untuk menyimpan peralatan berburu dan perang, serta menyimpan simbol dan peralatan warisan dari leluhur, bahkan sebagai tempat penyimpanan jenazah yang diawetkan.

Rumah ini biasanya dibangun berkelompok, menunjukkan bahwa keluarga membutuhkan lebih dari satu rumah untuk menampung semua anggota keluarga.

Kapasitasnya bisa mencapai lima hingga sepuluh orang.

2. Rumah Ebei

Ilustrasi rumah ebei (Foto: Parboaboa/Yessica)

Jika dilihat dari bentuknya rumah Ebei serupa dengan rumah Honai. Namun, yang membedakannya adalah penghuninya.

Rumah ini menjadi tempat tinggal bagi para perempuan dewasa, meskipun anak laki-laki yang belum dewasa diperbolehkan tinggal sementara di sana.

Namun begitu mereka mencapai usia dewasa, mereka diharuskan pindah ke rumah Honai.

Kata "Ebei" berasal dari dua kata, yaitu "Ebe" yang berarti tubuh, dan "Ai" yang berarti perempuan.

Dalam konteks bahasa, rumah Ebei menggambarkan tubuh perempuan yang mengandung makna bahwa perempuan adalah kehidupan bagi semua orang sebelum mereka lahir ke dunia.

Di rumah ini, perempuan yang memasuki usia dewasa dan siap menikah diajarkan berbagai keterampilan untuk menjadi istri dan ibu yang baik.

Mereka juga terlibat dalam berbagai aktivitas seperti kerajinan tangan, memasak, dan menjahit.

Rumah Ebei memiliki makna filosofis yang penting bagi masyarakat Papua.

Bentuknya yang melingkar melambangkan persatuan dan kesatuan yang kuat di antara suku Dani.

Kesatuan ini membuat mereka memiliki pemikiran yang seragam dan solid dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Rumah ini juga menjadi simbol dari harkat dan martabat suku Dani.

3. Rumah Hunila

Ilustrasi rumah hunila (Foto: Parboaboa/Yessica)

Rumah adat selanjutnya adalah rumah Hunila, yang bisa dijumpai di wilayah suku Dani.

Rumah adat yang satu ini, memiliki dimensi jauh lebih besar dan luas dibandingkan dengan rumah adat lainnya.

Hal ini dikarenakan rumah Hunila digunakan sebagai dapur umum.

Seperti dapur umum lainnya, tempat ini menjadi pusat produksi makanan untuk seluruh anggota komunitas (silimo) dan beberapa rumah Honai.

Biasanya, beberapa rumah Honai dan Ebei memiliki satu rumah Hunila yang digunakan secara bersama-sama.

Bahan makanan yang sering dimasak adalah sagu dan ubi.

Setelah proses memasak selesai, makanan tersebut akan dibagikan kepada masing-masing keluarga serta anggota Pilamo.

4. Rumah Kariwari

Ilustrasi rumah kariwari (Foto: Parboaboa/Yessica)

Rumah adat suku Tobati-Enggros yang dikenal sebagai rumah Kariwari menjadi sorotan berikutnya.

Keunikan rumah adat Papua memang mengundang rasa ingin tahu yang mendalam.

Rumah adat Kariwari ini menampilkan atap berbentuk limas segi delapan yang memiliki tiga tingkat.

Bentuk segi delapan ini mengandung makna mendalam.

Pertama, dipercaya bahwa bentuk ini mampu melindungi rumah dari segala jenis cuaca, terutama dalam menghadapi hawa dingin dan angin kencang.

Kedua, bentuk octagon dengan ujung lancip melambangkan hubungan erat antara manusia dengan Tuhan dan leluhur mereka.

Perlu diketahui bahwa rumah ini bukan tempat tinggal bagi masyarakat Papua, bukan kediaman kepala suku atau tempat pembuatan keputusan politik.

Rumah Kariwari didirikan untuk keperluan pendidikan dan ibadah, menjadikannya tempat yang sakral dan suci bagi suku Tobati-Enggros.

Umumnya, rumah ini dibangun dekat dengan Teluk Yotefa dan Danau Sentani di Jayapura.

Lokasinya yang dekat dengan pantai menyebabkan rumah Kariwari dibangun tegak lurus dengan garis pantai menghadap ke arah air laut.

Selain itu, rumah Kariwari dibangun secara linear dengan dua baris rumah yang berhadapan dan sejajar di sepanjang pantai.

Jarak antar rumah diatur agar tidak terlalu jauh, demi keamanan dan keintiman keluarga.

Dengan tinggi mencapai 20-30 meter, rumah ini terbagi menjadi tiga tingkat yang masing-masing memiliki satu ruangan.

Lantai pertama digunakan untuk mendidik remaja laki-laki agar menjadi pria dewasa yang bertanggung jawab, terampil, dan kuat.

Remaja laki-laki yang mencapai usia dua belas tahun dikumpulkan dan diajarkan berbagai keterampilan, termasuk mencari nafkah, bertanggung jawab pada keluarga, dan keterampilan bertahan hidup.

Lantai kedua digunakan untuk pertemuan para kepala suku atau tokoh adat guna membahas hal-hal penting.

Sedangkan lantai ketiga digunakan khusus untuk ibadah dan doa kepada Tuhan dan leluhur.

Rumah Kariwari dibangun dari kayu dan daun sagu, bambu, atau kayu lain yang tersedia di Papua.

Kerangka rumah terbuat dari delapan batang kayu yang diikat dengan tali rotan pilihan.

5. Rumah Pohon

Ilustrasi rumah pohon (Foto: Parboaboa/Yessica)

Rumah Pohon adalah salah satu bentuk rumah adat Papua yang cukup unik, yang dibangun oleh suku pedalaman Korowai.

Dengan mencermati lingkungan alamnya, mereka membuat hunian di atas dahan pohon yang terletak pada ketinggian 15-50 meter.

Ancaman dari serangan binatang buas dan makhluk gaib yang disebut Laleo, mendorong suku Korowai untuk mencari cara agar terlindungi dari ancaman tersebut.

Laleo dipercaya memiliki wujud menyeramkan seperti mayat hidup dan sering berkeliaran di malam hari. Suku Korowai meyakini bahwa semakin tinggi rumah mereka, semakin aman dari gangguan roh jahat.

6. Rumah Kaki Seribu

Ilustrasi rumah kaki seribu (Foto: Parboaboa/Yessica)

Rumah Kaki Seribu merupakan Rumah Adat Papua Barat Daya yang dibangun oleh suku Arfak.

Julukan "Kaki Seribu" diberikan karena rumah ini memiliki banyak tiang penyangga di bawahnya yang menyerupai hewan kaki seribu.

Penggunaan kata "seribu" di sini melambangkan jumlah yang melimpah.

Dengan luas sekitar 8 x 6 meter dan tinggi 1-1,5 meter dari permukaan tanah, rumah ini dianggap cukup aman dari serangan hewan buas.

Untuk mengatasi suhu dingin di sekitar daerah tersebut, rumah Kaki Seribu ini sengaja tidak dilengkapi dengan jendela, sehingga sirkulasi udara hanya dapat melalui pintu.

Rumah ini merupakan jenis rumah panggung khas dengan corak khas Manokwari dan dikenal juga dengan sebutan Mod Aki Aksa (Igkojei) dalam bahasa lokal.

7. Rumah Jew

Ilustrasi rumah jew (Foto: Parboaboa/Yessica)

Rumah Jew merupakan rumah adat khas suku Asmat, yang dikenal dengan keanggotaannya yang besar.

Berbentuk persegi panjang dengan luas 10 x 15 meter, rumah panggung ini memiliki ciri unik karena tidak menggunakan paku sebagai penghubung antar kayu, melainkan menggunakan akar-akar rotan pilihan.

Rumah ini hanya dihuni oleh laki-laki yang belum menikah, sehingga dikenal juga sebagai rumah Bujang.

Anak laki-laki di bawah sepuluh tahun dan perempuan tidak diizinkan masuk ke dalamnya.

Di rumah ini, para bujang belajar berbagai hal dari bujang senior dan laki-laki yang telah berkeluarga.

Mereka diajarkan keterampilan praktis, pendidikan budaya seperti memukul tifa, menari, dan menyanyi.

Selain sebagai tempat pembelajaran, rumah ini juga menjadi tempat musyawarah, pertemuan terkait perdamaian atau perang, dan penyelenggaraan upacara adat yang beragam.

Itulah ragam bentuk dan fungsi rumah adat Papua yang mencerminkan kekayaan budaya, filosofi, dan kearifan lokal yang menjadi warisan berharga bagi masyarakat Papua.

Dengan demikian, keberadaan rumah-rumah adat Papua menjadi jendela yang memperlihatkan kekayaan dan keindahan yang patut dijaga dan dilestarikan.

Editor : Ratni Dewi Sawitri

Tag : #rumah adat papua    #nama rumah adat papua    #pendidikan    #rumah adat papua barat    #rumah adat papua selatan   

BACA JUGA

BERITA TERBARU