parboaboa

Pro-Kontra Revitalisasi KUA Sebagai Pilar Baru Penyangga Toleransi

Norben Syukur | Nasional | 06-03-2024

Ilustrasi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) (Foto: PARBOABOA/Norben Syukur)

PARBOABOA, Jakarta – Di tengah fakta keberagaman etnis, suku, budaya, dan agama yang mengagumkan, Indonesia dihadapkan pada tantangan besar untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan.

Kesadaran inilah yang mendorong Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menggulirkan kebijakan mengoptimalkan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai tempat memberikan layanan bagi semua agama.

Ide utama dari kebijakan ini agar warga negara yang non-muslim yang hendak melangsungkan pernikahan tidak perlu lagi ke Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (DISDUKCAPIL), melainkan cukup ke KUA.

"KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama," ucap Yaqut yang dikutip PARBOABOA dari situs Kemenag, Rabu (6/04/2024).

Yaqut menegaskan, perbaikan layanan keagamaan oleh negara terhadap warganya merupakan pilar penyangga baru dalam melestarikan keberagaman.

Menurutnya, layanan apapun yang berasal dari negara tidak boleh bersifat terfragmentasi, tetapi harus menyatukan.

“Pembauran ini merupakan jurus ampuh mengatasi segala macam sentimen primordial,” katanya.

Karena bagi dia, akar dari primordial adalah prasangka buruk dari pihak lain yang mengisolasi diri dalam kelompoknya. Menyatukan fungsi layanan agama dalam satu kantor justru menciptakan banyak pembauran.

Pro-Kontra  Kelompok  Agama

Direktur Jenderal (Dirjen) Bimas Islam, Kamaruddin Amin, menyambut positif rencana Menteri Yaqut. Ia menegaskan, pihaknya siap meluncurkan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pusat layanan keagamaan lintas agama.

"2024 ini juga, KUA akan menjadi pusat layanan keagamaan lintas fungsi dan lintas agama," ucapnya, yang dikutip dari situs Kemenag, Rabu (6/4/2024).

Untuk itu, jelasnya, koordinasi dari pusat hingga daerah diperkuat untuk menjadikan KUA sebagai pusat layanan bagi semua agama.

Ia mengaku bahwa fokus pekerjaan lembaganya adalah merumuskan jenis-jenis layanan yang dapat diberikan oleh KUA kepada masyarakat lintas agama.

"Saat ini, kami sedang mendalami kira-kira layanan jenis apa yang bisa kita berikan," ujarnya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, KUA itu jadi pusat layanan publik semua agama. Adapun kegiatannya, bisa berupa penyuluhan agama, bimbingan perkawinan, atau kegiatan-kegiatan keagamaan lain dari semua agama.

Ia berharap, transformasi KUA menjadi pusat layanan semua agama sehingga kerukunan antarumat beragama dapat terjaga.

Sementara itu, Direktorat Jenderal Bimas Katolik melakukan koordinasi dengan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) pada Jumat (1/3/2024) dalam rangka merespon kebijakan ini.

Suparman, Dirjen Bimas Katolik, mengatakan, pertemuan pihaknya dengan KWI dan mitra lainnya ini penting agar kebijakan ini bisa dipahami dengan benar oleh umat Katolik.

Ia mengungkapkan bahwa beberapa hal penting dirumuskan dalam pertemuan ini, antara lain bahwa gagasan KUA melayani semua agama dapat dipahami dan diterima.

Sebab, sejatinya tugas negara melayani masyarakat tanpa diskriminasi. "Kemenag tidak mencampuri urusan internal Gereja Katolik," katanya, melalui rilis yang diterima Parboaboa, Rabu (6/4/2024).

Bagi umat Katolik, kebijakan ini tidak akan mengurangi peran Gereja Katolik. KUA dapat meningkatkan dan mendekatkan pelayanan kepada umat dan membawa semangat moderasi beragama.

"KUA tidak membatasi atau mengurangi peran Gereja Katolik dalam hal pernikahan Katolik," terangnya.

Ia mengakui, selain koordinasi dengan Gereja Katolik, pihaknya juga mendiskusikan implementasi kebijakan ini bersama unit eselon I lain di lingkungan Kementerian Agama.

Suparman mengajak semua mitra dapat bekerja sama dalam menjalankan setiap program sehingga lebih cepat dan tepat.

"Umat jangan menilai seolah-olah Dirjen Bimas Katolik berjalan sendiri tanpa koordinasi," katanya.

Senada dengan itu, Dirjen Bimas Buddha, Supriyadi, menyambut baik arahan Menteri Agama terkait fungsi KUA.

Kebijakan ini, menurutnya, akan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses layanan pemerintah.

"KUA untuk semua agama akan mempermudah umat mengakses layanan pemerintah," ungkapnya di Jakarta, Senin (4/3/2024).

Menurutnya, ini bagian dari perubahan tata kelola administrasi pencatatan pernikahan umat Buddha agar masyarakat lebih mudah mengaksesnya.

Selama ini, sesuai aturan, pencatatan pernikahan umat Buddha dilakukan oleh Dukcapil dengan menerbitkan Kutipan Akta Nikah kemudian tercatat dalam Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK).

"Harus dipahami jika ada integrasi data antar institusi yang memberikan layanan keagamaan dan layanan kependudukan dengan program ini menjadi efektif dan efisien," sebutnya.

Sedangkan Ketua Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Mayjen (Purn) Wisnu Bawa Tenaya mengatakan, pihaknya menyambut baik rencana Menteri Agama ini.

Hanya saja, akan banyak hal yang harus dipersiapkan atau diubah, terutama dari regulasi serta tata cara pernikahan umat Hindu di KUA.

"Bicara umat Hindu itu komprehensif. Tidak bisa sepotong-sepotong," ujar Wisnu, Selasa (5/3/2024). Wisnu menegaskan, umat Hindu lebih mengedepankan adat istiadat dalam melaksanakan pernikahan.

Seringkali, tata cara adat berbeda satu daerah dengan daerah lainnya. Di Bali, misalnya, tentu berbeda dengan umat Hindu di Kalimantan ataupun Sumatera.

Karenanya, sebelum rencana Kemenag dilaksanakan, harus disusun Standar Operasional Prosedur (SOP) pernikahan masing-masing agama.

"Ada struktur, kebiasaan-kebiasaan yang memang harus dipegang atau ditaati. Dan itu berbeda satu daerah dengan daerah lain," kata dia.

Berbeda dengan keempat agama sebelumnya, Persatuan Gereja Indonesia (PGI) meminta rencana tersebut perlu dipertimbangkan dengan matang.

“Gereja bertugas memberkati sebuah pernikahan yang adalah wilayah privasi seseorang dan tempat pencatatan ada di Kantor Catatan Sipil,” ujar Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI, Pdt. Henrek Lokra di Jakarta, Selasa (27/2/2024).

Menurutnya, selama ini catatan sipil berjalan sebagaimana mestinya, fungsi negara untuk urusan administrasi publik.

Seirama dengan itu, PP Muhammadiyah juga mendorong Menteri Agama mempertimbangkan ulang rencana ini. Lembaga ini minta Menteri Agama mendengarkan banyak pihak soal rencananya ini.

Menurutnya, KUA sebagai pencatatan pernikahan dan perceraian perlu dikaji dengan seksama.

“Untuk pengkajian ulang Kemenag diperlukan hearing dari sejumlah pihak, terutama organisasi agama dan kementerian yang terkait,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, Selasa (27/2/2024).

Editor : Norben Syukur

Tag : #kua    #revitalisasi    #nasional    #toleransi    #katolik    #kristen    #islam    #hindu    #budha    #konghucu    #   

BACA JUGA

BERITA TERBARU