parboaboa

Mengenal Politik Dinasti, Lengkap dengan Penyebab dan Akibatnya

Sondang | Politik | 11-04-2022

Ilustrasi Politik Dinasti (Dok. MI)

PARBOABOA, Pematangsiantar - Di Indonesia, politik dinasti bukanlah hal yang tabu lagi. Sudah banyak ditemukan kasus dimana sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga menjalankan sebuah kekuasaan politik.

Seperti Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari yang terkena Operasi Tangkap Tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) pada Senin (30/08/2021). Ia ditangkap bersama suaminya, Hasan Aminuddin yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi IV DPR.

Hasan tercatat pernah menjabat sebagai Bupati Probolinggo selama dua periode. Kemudian pada Pilkada 2013, Hasan lalu digantikan oleh istrinya, Puput Tantriana Sari.

Lantas, apa itu politik dinasti?

Secara sederhana, politik dinasti merupakan sebuah upaya untuk mengarahkan regenerasi kekuasaan bagi kepentingan gologan tertentu untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan di suatu negara.

Kata “dinasti” sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah atau semua yang berasal dari satu keluarga. Karena politik di Indonesia menganut sistem demokrasi, dan bukan kerajaan atau monarki, maka munculah istilah politik dinasti.

Dilansir dari Historia, Sejarawan Universitas Gajah Mada, Sri Margana menyebut bahwa politik dinasti di Indonesia bukan hanya sekedar fenomena, tapi juga tradisi.

Tradisi tersebut bermula dari budaya feodalisme di Nusantara yang juga menganut patrimonialisme.

Patrimonialisme sendiri adalah istilah untuk menyebut rezim pemerintahan dimana kekuasaan penguasa tergantung pada kecakapan untuk mempertahankan kesetiaan para elit kelompok.

Penyebab munculnya Dinasti Politik

Praktik dinasti politik sendiri tidak akan tumbuh subur tanpa terdapat penyebab yang mendasarinya. Berikut faktor-faktor yang mendorong terjadinya dinasti politik.

1. Kompetisi politik yang tidak sehat

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Ernesto Dal Bo, Pedro Dal Bo, dan Jason Snyder (2007), kompetisi politik yang tidak sehat merupakan salah satu faktor yang mendorong terjadinya dinasti politik.

Semakin tidak adil aturan main dalam kontestasi politik, semakin menyuburkan politik dinasti. Selain itu, semakin lama seseorang menjadi anggota kongres, semakin cenderung mendorong keluarganya menjadi anggota lembaga tersebut. Kekuasaan yang cenderung memproduksi kekuasaan dalam dirinya dalam ungkapan mereka disebut dengan power begets power.

2. Nilai demokrasi yang tergerogoti

Dalam teori Robert Michael (1911), terdapat kalimat hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy). Artinya, bahkan dalam kepemimpinan organisasi yang demokratis sekalipun, pemimpin cenderung mencengkeram kekuasaannya dan menggerogoti prinsip-prinsip demokrasi.

3. Sistem Kekerabatan

Faktor selanjutnya yang mendorong terjadinya dinasti politik adalah sistem kekerabatan seperti favoritisme atau patronase, kroniisme, dan nepotisme.

Kekhawatiran masyarakat sangat dipahami terkait merebaknya dinasti politik. Menurut mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan, pada tahun 2013 sebanyak 61 kepala daerah atau 11 persen dari semua kepala daerah di Indonesia mempunyai jaringan politik kekerabatan atau dinasti politik.

Bahkan, gejala menguatnya dinasti politik telah menjebak demokrasi menuju dynast-ocracy (dinastokrasi) sudah diangkat dalam editorial The Jakarta Post edisi 21 Agustus 2008.

4. Oligarki Politik

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz menilai, politik dinasti di Indonesia terjadi karena oligarki partai politik. Menurut Donal, situasi ini memperbesar peluang terjadinya praktik korupsi.

Dinasti politik terjadi di semua negara, tapi di Indonesia itu terjadi karena kepartaian yang oligarkis. Potensi orang terjerat kasus korupsi karena harus menghidupi biaya partai politik yang mahal.

Akibat yang Ditimbulkan Politik Dinasti

Merebaknya praktik dinasti politik ini tentu akan menimbulkan banyak pemimpin lokal menjadi politisi yang mempunyai pengaruh. Sehingga, semua keluarga termasuk anak dan istri berbondong-bondong untuk dapat terlibat dalam system pemerintahan.

Berikut dampak yang ditimbulkan dari maraknya kasus dinasti politik.

1. Menjadikan partai sebagai mesin politik semata yang pada gilirannya menyumbat fungsi ideal partai sehingga tak ada target lain kecuali kekuasaan. Dalam posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Di sini kemudian muncul calon instan dari kalangan selebriti, pengusaha, “darah hijau” atau politik dinasti yang tidak melalui proses kaderisasi.

2. Sebagai konsekuensi logis dari gejala pertama, tertutupnya kesempatan masyarakat yang merupakan kader handal dan berkualitas. Sirkulasi kekuasaan hanya berputar di lingkungan elit dan pengusaha semata sehingga sangat potensial terjadinya negosiasi dan penyusunan konspirasi kepentingan dalam menjalankan tugas kenegaraan.

3. Sulitnya mewujudkan cita-cita demokrasi karena tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme.

Politik Dinasti tidak dilarang di Indonesia

Meski mengetahui hal itu, politik dinasti jelas-jelas tidak dilarang di Indonesia. Menteri Koordinator bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, tak ada aturan hukum maupun konstitusi yang melarang kerabat pejabat publik untuk maju dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada).

Dia menilai, politik dinasti merupakan bagian dari praktik nepotisme. Meski begitu, hal tersebut tidak bisa dihindari.

“Kita sebagian besar tidak suka dengan nepotisme, tapi harus kita katakan, tidak ada jalan hukum atau jalan konstitusi yang bisa menghalangi orang itu mencalonkan diri berdasarkan nepotisme atau sistem kekeluargaan sekalipun,” ujar Mahfud dalam Webinar Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal pada Sabtu (5/9/2020) lalu.

Mahfud menambahkan, dirinya belum pernah menemukan ada negara yang melarang warganya untuk maju di pemilihan umum hanya karena dia kerabat seorang pejabat publik.

Lagipula, kata Mahfud, tak selamanya politik dinasti atau nepotisme ini berniat menguntungkan golongan atau keluarga mereka.

Salah satu contoh politik dinasti yang pernah menghiasi lini masa media online adalah majunya putra pertama Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka sebagai Calon Wali Kota Solo. Sedangkan menantunya, Bobby Nasution, maju sebagai Calon Wali Kota Medan.

Di Solo, Gibran yang berpasangan dengan Teguh Prakosa menang telak dengan meraih suara lebih dari 90 persen atas calon independen Bagyo Wahyono-FX Supardjo.

Kemenangan juga diraih Bobby yang berpasangan dengan Aulia Rachman. Mereka berhasil mendulang 53,45 persen suara. Sementara rivalnya, Akhyar Nasution-Salman Alfarisi hanya memperoleh 46,55 persen suara.

Nah, benar juga tuh. Tidak semua dinasti politik akan menimbulkan dinasti politik. Namun, politik dinasti juga tidak dapat dibenarkan juga ya gais. Sebab, negara Indonesia bukanlah negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.

Editor : -

Tag : #politik dinasti    #ancaman demokrasi    #politik    #oligarki    #icw    #pilkada   

BACA JUGA

BERITA TERBARU