parboaboa

Perjuangan Penganut Parmalim Melestarikan Ajaran Ugamo Malim di Tengah Diskriminasi

TIM Parboaboa | Liputan Unggulan | 03-01-2024

Marari Sabtu (ibadah mingguan) yang dilakukan oleh umat Parmalim. (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

PARBOABOA - Buk! sebuah tendangan mendarat keras di punggung Gokmanata Damanik (15). Remaja berdarah Lumban Julu, Kabupaten Toba itu sontak terkejut.

Suatu sore, awal November lalu, ia tengah mengobrol santai dengan beberapa orang teman di Pendopo Asrama Sekolah. Tensi pembahasan memanas ketika menyinggung soal agama. 

"Seorang teman tiba-tiba kayak ngomong, 'Kalau yang beragama lain itu, tempat ibadahnya harus dihancurkan'," cerita Gokmanata kepada Parboaboa, Rabu (27/12/2023). Singkat cerita, melayanglah tendangan itu. 

Gokmanata memilih tak melawan. Bayang-bayang posisinya sebagai minoritas masih membenam di kepala. Ia takut jika masalahnya malah membias. Keberadaanya pun bakal terancam.

Ia hanya menceritakan hal itu ke kakak kelasnya, lalu dianjurkan untuk melapor ke pembina asrama. Masalah akhirnya berhasil diusut pihak sekolah.

Gokmanata merupakan generasi muda Parmalim, agama tradisional yang merupakan warisan leluhur masyarakat Batak.

Sebagai penganut Parmalim, pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) itu sudah sering mendapat perlakuan diskriminatif di sekolahnya.

Ia bahkan mengaku 'kenyang' dengan beragam perundungan, yang tak hanya menyasarnya secara personal, tetapi juga merendahkan agamanya. 

"Iya lae, sudah sering dapat bully-an," kenangnya.

Buku Pustaka Perguruan Surat Batak untuk Sekolah “Parmalim School” pada 1941 (Foto: Parmalim/ Raja Monang Naipospos)
 

Bagi Gokmanata, hidup di tengah penganut agama mayoritas memang bukan perkara mudah.

Ia terpaksa harus berdamai dengan aneka stigma, yang tak jarang pula menghantam jantung keimanannya. 

Meski di usia yang terbilang muda, Gokmanata cukup dewasa ketika memikirkan masa depan komunitasnya. Apalagi, tak semua generasi Parmalim kokoh dalam keyakinannya saat digempur stigma dan intimidasi.

Sewaktu-waktu, kata dia, mereka bisa saja mengambil jalan pintas: meninggalkan kepercayaan yang sudah diwariskan secara turun temurun itu.

Gokmanata sendiri punya bekal untuk merawat spiritualitas imannya. Sejak kecil, orang tuanya sudah sering menanamkan nilai-nilai Parmalim. 

Biasanya, sang ayah selalu meluangkan waktu untuk mengisahkan ulang sejarah kebesaran Parmalim di masa lalu.

Nilai-nilai itu pun menubuh dalam perjalanan Gokmanata hingga remaja. Hal ini cukup membantunya menangkal kekuatan dari luar yang berpotensi mengguncang keimanannya.

"Orang bapak itu sering ngajarin tentang sejarah sejarah di Parmalim lae," katanya.

Jejak-jejak diskriminasi juga rupanya masih membekas di ingatan Pantun Sitorus (22).

Semasa kecil, pria kelahiran Laguboti, Kabupaten Toba, itu sudah sering mendengar ocehan teman-temannya soal Parmalim.

Namun, Pantun memilih tak ambil pusing. Selain menghindari gesekan horizontal, ia juga sadar akan keberadaannya di tengah penganut agama mayoritas.

Ada semacam ketakutan di benaknya, bahwa konfrontasi religius tak jarang mengganggu keakraban antarpemeluk agama hingga memunculkan pertikaian.

"Sebenarnya selama kecil banyak diskriminasi terutama dari teman-teman," ungkap Pantun kepada Parboaboa.

Laki-laki Parmalim bersiap siap untuk Marari Sabtu (ibadah Sabtu) di Kecamatan Porsea, Kabupaten Toba (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Kepercayaan Parmalim kembali dihantam stigma ketika Pantun menginjak bangku kuliah.

Di semester awal, ia pernah diminta menjadi peserta Natal bersama yang diselenggarakan kampus. Pantun pun menolak. Ia beralasan, perayaan Natal bukan bagian dari kepercayaan yang dianutnya.

Namun, beberapa senior di kampusnya tetap ngotot. Pantun dipaksa terlibat dalam acara tersebut. Bahkan, beberapa kali ia diintimidasi para seniornya.

"Jadi seniornya bilang gini, 'Ya apa bedanya, kan kita sama-sama dari batak kayak gitu'," kenang Pantun.

Keberadaan Parmalim di lingkungan kampusnya memang belum begitu populer. Para penganutnya pun cenderung dipandang rendah.

Ia mengakui, mayoritas mahasiswa tak punya pemahaman yang utuh soal Parmalim.

Beberapa di antaranya menuding Parmalim sebagai penyembahan berhala. Tuhan yang disembah dianggap berbeda dengan yang diyakini agama-agama Abrahamik.

Padahal yang berbeda, kata Pantun, hanya pada penyebutannya, tetapi tetap mengarah pada satu Tuhan yang sama.

Ia lantas mengajak beberapa senior kampus untuk berdiskusi. Setidaknya bisa memutus mata rantai stigma terhadap agamanya.

"Jadi aku jelasin bagus bagus lah. Nah, setelah dari situ lah lae mulai tenang kehidupan di kampus," kata dia.

Merawat Spiritualitas di Ruang Keluarga

Pantun mengakui, mengikis stigma terhadap Parmalim memang tak mudah.

Persoalan inilah, yang menurutnya berpotensi menjadi batu sandungan bagi generasi Parmalim di masa depan.

Namun, para penganut Parmalim sudah jauh-jauh hari memikirkannya. Salah satu caranya lewat penguatan nilai lewat ruang-ruang keluarga.

Di sana, spiritualitas Parmalim diurai. Anak-anak disuntik dengan kisah-kisah historis. Pondasi keimanan mereka pun diperkuat. 

“Jadi semisal waktu makan malam itu selesai makan malam cerita-cerita tentang sejarah-sejarah Parmalim,” ungkap Pantun.

Tak hanya pondasi spiritual yang dibekali keluarga, Parmalim juga punya organisasi khusus, namanya Tunas Naimbaru (tunas yang baru tumbuh).

Pantun menjadi salah satu pengurus organisasi yang mewadahi generasi muda Parmalim itu. Di waktu senggang, ia dan anak-anak muda Parmalim biasanya bertemu.

Banyak hal yang dibicarakan. Bagi Pantun, organisasi ini menjadi ruang perjumpaan untuk berbagi cerita, sekaligus meneguhkan keyakinan generasi muda Parmalim.

"Jadi ini tuh suatu wadah lah untuk kami berembuk untuk mempersiapkan lah, mulai dari pengetahuan, tempat kami untuk sharing," kata Pantun.

Wadah ini juga menjadi sarana pembelajaran. Mereka rutin menggelar diskusi dengan beragam topik kontekstual, termasuk eksistensi Parmalim di masa depan.

Orang tua Parmalim juga dilibatkan untuk menjadi narasumber. Mereka berbagi spiritualitas dan ilmu agama kepada anak-anak muda Parmalim.

"Jadi untuk menguatkan lah pondasinya sebagai generasi penerus di Parmalim," ungkapnya.

Bale Parsantian (rumah ibadah) Ugamo Malim yang ada di Desa Sampuara, Kecamatan Uluan, Kabupaten Toba (Foto: PARBOABOA/Calvin Siboro)

Parmalim juga rupanya punya lembaga pendidikan nonformal.  Mereka menyebutnya Badan Pangaradoti Perguruan (Bappar) atau Lembaga Pendidikan Parmalim. 

Menurut Jaya Manik, Guru dan Penyusun Kurikulum Pendidikan Parmalim di Kabupaten Toba, lembaga yang dibentuk tahun 1939 itu sempat redup sebelum kembali eksis pada 2008 silam.

“Sempat mati kemudian dihidupkan oleh Raja Monang," ungkap Jaya kepada Parboaboa.

Di tengah kesulitan mengakses pendidikan penghayat kepercayaan di sekolah, kehadiran Bappar memberi angin segar bagi generasi muda Parmalim. 

Organisasi ini kemudian bergerak aktif dalam memperjuangkan dan menyusun kurikulum pendidikan penghayat kepercayaan.

Saat ini generasi muda Parmalim, kata Jaya, sudah dapat mengakses pendidikan kepercayaan di sekolah.

“Walaupun masih ada beberapa sekolah yang belum mengizinkan anak-anak kami untuk mendapatkan pendidikan kepercayaan di sekolah-sekolahnya,” ungkap Jaya.

Tak hanya itu, Bappar juga bertugas dalam membentuk kurikulum pendidikan Parmalim di luar sekolah. Anak Parmalim diwadahi lewat kegiatan marguru (Berguru). 

Biasanya, marguru akan menyasar anak-anak tingkat SD hingga SMA. Mereka bertemu sekali sepekan di hari Sabtu sore.

Pelajaran yang diberikan seputar Ugamo Malim atau kepercayaan Malim, mulai dari sejarah Parmalim hingga keimanannya.

Guru-guru Bappar berperan penting dalam kegiatan marguru ini. Mereka umumnya merupakan anggota Parmalim yang punya latar belakang sebagai guru di sekolah, seperti guru SD atau SMP.

Jika kekurangan guru, mereka akan mengambil dari anggota Parmalim yang memiliki pengetahuan dasar untuk memberikan pengajaran. 

Umumnya, orang-orang yang mengajar adalah anggota Parmalim berusia relatif muda. Namun, jika tidak ada yang bersedia, mereka akan belajar dari anggota Parmalim yang lebih tua.

Jaya hanya ingin generasi Parmalim yang berjumlah 1.356 jiwa di Kabupaten Toba itu, setidaknya bisa mendapat pendidikan di luar sekolah formal.

Selain mendirikan Bappar, Parmalim juga mendirikan Ugasan Torop (Lembaga Sosial Spiritual). 

Menurut Jaya, Ugasan Torop merupakan perwujudan dari salah satu kredo Parmalim: Parbinotoan Naimbaru (Pengetahuan yang terbaharui). 

Dalam praktiknya, Ugasan Torop ini menampung dana sosial yang dikumpulkan dari seluruh umat Parmalim.

Dana ini nantinya akan diberikan kepada umat Parmalim yang membutuhkan, salah satunya untuk biaya pendidikan anak.

“Jadi tak ada alasan anak-anak Parmalim tidak bisa sekolah tinggi” terang Jaya.

Dirikan Sekolah untuk Generasi Parmalim

Keberadaan Parmalim rupanya telah mengalami tantangan serius sejak masa kolonial. Pengaruh Kristen dan sekolah-sekolah Zendingnya  menggeser posisi Parmalim di Tanah Batak.

Pemimpin Parmalim, Raja Monang Naipospos menjelaskan, anak-anak Parmalim saat itu dipaksa untuk dibaptis menjadi Kristen sebelum mengenyam pendidikan.

Mereka pun tak punya pilihan lain. Jika ingin mendapatkan pendidikan yang baik, maka harus rela meninggalkan kepercayaan leluhur. 

Sementara, anak-anak Parmalim yang bertahan menghadapi kesulitan dalam mengenyam pendidikan.  Syarat  yang diberlakukan oleh sekolah zending Kristen cukup ketat.

"Anak-anak di sini dulu kalau mau sekolah di sekolah zending harus mau dibaptis jadi Kristen," ungkap Raja Monang kepada Parboaboa.

Raja Ukkap, anak Raja Mulia, pemimpin Parmalim saat itu, tak tinggal diam. Menjadi penerus pimpinan Parmalim, ia merasa memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga eksistensi Parmalim di tengah gelombang kristenisasi.

Baginya, anak-anak Parmalim harus tetap tumbuh dalam kepercayaan nenek moyang mereka. Di sisi lain, mereka juga harus dibekali dengan pendidikan yang baik. 

Raja Ukkap kemudian mendirikan Parmalim School pada tahun 1939 di Tanah Laguboti, meskipun awalnya mendapat penolakan dari para tetua.

"Kalau enggak ada Parmalim School ini mungkin udah enggak ada lagi Parmalim sekarang," kata Raja Monang.

Sekolah Parmalim School yang dibangun pada 1939 oleh Raja Ukkap. (Foto: Parmalim/Raja Monang Naipospos)

Parmalim School hadir bagi generasi muda Parmalim yang tidak dapat mengakses pendidikan di sekolah zending Kristen.

Parmalim School tidak hanya menjadi tempat untuk menimba ilmu, tetapi juga menjadi cikal bakal terbentuknya kredo Parmalim.

Kredo tersebut menekankan tiga aspek penting: Parbinotoan Naimbaru (Pengetahuan yang terbaharui), Ngolu Naimbaru (Hidup yang terbaharui), dan Haporseaon Namarsihohot (Kepercayaan yang mengakar). 

Kredo ini menjadi landasan hidup umat Parmalim, khususnya bagi generasi muda.

Pascakemerdekaan, Parmalim School resmi dihapus setelah pemerintah mengizinkan anak-anak Parmalim mengenyam pendidikan di sekolah formal.

“Setelah merdeka. Dari tahun 1939. 10 tahun lebih lah. Setelah merdeka enggak langsung tutup,” jelas Raja Monang.

Bagi Raja Monang, Parmalim School menjadi bukti perjuangan umat Parmalim untuk menjaga eksistensi mereka di tengah gempuran pengaruh zending pada masa itu. 

Reporter: Calvin Siboro

Editor : Andy Tandang

Tag : #parmalim    #diskriminasi    #liputan unggulan    #ugamo    #bullying    #parmalim school    #batak   

BACA JUGA

BERITA TERBARU