parboaboa

Kisah Mahasiswa Indonesia Tak Bisa Kembali ke Tanah Air Akibat Peristiwa 1965

Maesa | Nasional | 28-06-2023

Sudaryanto Priyono dan Suryo Hartono saat berkisah kepada Presiden Jokowi terkait peristiwa tahun 1965 dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, pada Selasa, 27 Juni 2023. (Foto: BPMI Setpres)

PARBOABOA, Jakarta – Peristiwa pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia mengisahkan sejumlah cerita bagi beberapa pihak yang terdampak, termasuk Sudaryanto Priyono dan Suryo Hartono.

Keduanya merupakan mahasiswa asal Indonesia yang menempuh pendidikan di luar negeri dan tidak bisa kembali ke Tanah Air saat peristiwa tahun 1965.

Sudaryanto Priyono saat itu berkuliah di Rusia sedangkan Suryo Hartono Ceko.

Suryo Hartono mengatakan bahwa alasan dari tidak bisa kembali ke Tanah Air adalah karena paspornya dicabut.

Ia berkisah, pada tahun 1965, dirinya menjalani pendidikan di salah satu universitas di Ceko melalui beasiswa yang diberikan oleh Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP).

Lalu, pada 30 September 1965, terjadilah peristiwa di Indonesia yang mengakibatkan dicabutnya paspor miliknya serta 16 mahasiswa lain yang berada di Ceko.

Pencabutan parpor ini, kata Suryo, dikarenakan pihaknya menolak untuk menandatangani persetujuan atas terbentuknya pemerintahan baru.

Mengutuk Soekarno

Dalam kesempatan yang sama, Sudaryanto Priyono juga turut mengisahkan peristiwa yang dialaminya pada tahun 1965.

Sudaryanto Priyono mengatakan, tahun itu dirinya tengah menjalani pendidikan di salah satu universitas yang berada di Moskow, Rusia.

Lalu, ada skrining yang berisi sejumlah persyaratan, di mana salah satu poinnya adalah menghianati Soekarno dengan mengutuknya.

Sudaryanto menolak hal tersebut dan dinyatakan tidak memenuhi syarat skrining. Kemudian, sepekan setelahnya, ia menerima surat pemberitahuan bahwa paspornya dicabut.

Tak hanya itu, Sudaryanto Priyono juga kehilangan status kewarganegaraannya sebagai WNI.

Keterbatasan akses ini memaksa Sudaryanto untuk bertahan di Rusia. Ia meneruskan pendidikannya dengan bantuan dari pemerintah setempat.

Setelah lulus dari universitas, ia tetap bertahan di Rusia hingga akhirnya mendapat pekerjaan, berkeluarga, dan pensiun.

Sudaryanto berkisah, dirinya sempat menjadi dosen di salah satu universitas di Rusia. Selain itu, dirinya juga sempat mengadakan beberapa kunjungan ke Tanah Air dan menjadi pembicara di berbagai kampus di Indonesia usai keadaan berangsur normal bertahun-tahun setelahnya.

Jokowi Tawarkan Jadi WNI

Setelah mendengar kisah dari Sudaryanto Priyono dan Suryo Hartono, Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi) menawarkan keduanya untuk kembali menjadi Warga Negara Indonesia (WNI).

Mendengar penawaran itu, terlihat raut kegembiraan yang bimbang dari keduanya. Sebab, masing-masing telah memiliki kehidupan, anak, istri hingga cucu di negaranya saat ini.

Namun, Sudaryatno menyebut hal itu dapat dilakukan meski dirinya memiliki keluarga di Rusia.

Tambahan informasi, kisah ini dibagian keduanya dalam acara peluncuran program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, pada Selasa, 27 Juni 2023.

Peristiwa 1965

Diketahui, pada tahun 1965, terjadi sebuah peristiwa yang dinamai dengan G30S/PKI (Gerakan 30 September).

Peristiwa ini dilatar belakangi oleh upaya kudeta yang terjadi selama dua hari satu malam, tepatnya pada 30 September hingga 1 Oktober 1965.

Kudeta tersebut diduga dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Upaya kudeta di masa pemerintahan Soekarno ini mengakibatkan gugurnya enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia.

Di mana, seluruh jenazahnya dimasukkan ke dalam suatu lubang sumur lama di area Lubang Buaya, Jakarta Timur.

Editor : Maesa

Tag : #pelanggaran ham berat    #indonesia    #nasional    #g30spi    #kudeta   

BACA JUGA

BERITA TERBARU