parboaboa

Setara Intsitute: Demokrasi Kian Memburuk Karena Kontrol Antar Lembaga Tak Efektif

Rian | Nasional | 28-12-2023

Setara Institute menilai demokrasi saat ini mengalami kemunduran karena fungsi kontrol antar lembaga tidak efektif. (Foto: Tangakapan layar youtube imparsial)

PARBOABOA, Jakarta - Demokrasi Indonesia mengalami kemunduruan karena fungsi kontrol antar lembaga tidak berjalan efektif. 

Setara Institute mengonfirmasi kondisi ini dengan menggambarkan kinerja masing-masing lembaga yang kian memburuk, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Direktur Setara Institute, Halili Hasan bahkan menyebut ketiga lembaga dihuni oleh beberapa oknum yang membajak demokarsi demi kepentingan pribadi dan kelompok.

"Maka pertanyaanya, kalau eksekutif ternyata menjadi kumpuluan maling di eksekutif, kalau legislatif menjadi kumpulan garong di legislatif, yudikatif juga begitu maka lengkaplah demokrasi menjadi apa yang dikeluhkan banyak orang sebagai pemerintahan oleh para maling atau kleptokrasi," kata Halili Hasan dalam Diskusi Publik Catatan Akhir Tahun Koalisi Masyarakat Sipil di Jakarta, Kamis (28/12/2023).

Halili mengatakan, kalau kondisinya demikian, demokrasi sebenarnya menyediakan ruang kontrol yang lain, yaitu popular kontrol atau kontrol oleh rakyat melalui dua mekanisme, yakni langsung dan tidak langsung.

Masalahnya, demikian Halili menjelaskan, yang tidak langsung itu pun habis-habisan dipretili. Halili mengangkat contoh kasus yang menimpa Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Haris Azhar dan Mantan Koordinator Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatiah Maulidiyanti.

"Haris dan Fatia kan berusaha melakukan kontrol dengan memaparkan hasil riset bagaimana conflik of interest antara regulator dan operator yang mengorbankan publik namun mereka berdua justru dikriminalisasi," cetusnya.

Popular control ini juga kian melemah karena fungsi pers semakin  digembosi, terutama menyasar beberapa media yang bergerak dalam isu kebebasan pers.

Halili menegaskan, "beberapa media berdasarkan data teman-teman AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) yang bergerak untuk isu kemerdekaan pers itu menunjukkan bahwa indeks kebebasan pers kita merosot tajam di periode Pak Jokowi."

Namun demikian, kontrol paling ujung saat ini, kata Hailili, tinggal menunggu pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024. Ia mengatakan, ini menjadi momentum apakah rakyat masih bertaji untuk mengontrol kekuasaan politik agar kemudian tidak menumpuk pada segelintir orang.

"Kita tunggu apakah publik itu akan memberikan popular control secara langsung terhadap demokrasi yang tidak baik-baik saja di pemilu 2024 ini. Kita tunggu."

Pemilu 2024 pemilu terburuk

Kemunduran demokrasi juga dipotret dari seluruh rangkaian dan tahapan pemilu 2024. Pengamat Politik, Ray Rangkuti menasbihkan pemilu 2024 sebagai pemilu terburuk.  

"Jujur dan tidak mengada-ada untuk sekedar membuat peniliaian yang bombastis, inilah yang menurut saya pemilu yang terburuk sepanjang sejarah pemilu demokratik," kata Ray Rangkuti.

Ray Rangkuti menjelaskan, yang buruk bukan dari infrastruktur aturan dan sistem, tetapi betul-betul dari aspek pelaksanaan dan aspek teknis pengelolaan. 

Bahkan, pemilu tahun 1999 kata Ray Rangkuti, jauh lebih baik dari pemilu kali ini dimana sistem yang digunakan kurang lebih sama. Ia mengatakan, pemilu kala itu dirayakan secara gembira dan ada kepercayaan tinggi di kalangan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu. 

"Di pemilu kita tahun 1999 itu keguyuban masyarakat Indonesia justru terlihat, TPS dibentuk sendiri oleh warga negara secara sukarela, saksi bekerja dengan sepenuh hati dan belum terdengar apa yang disebut ada manipulasi suara, tidak ada buli-bulian, dan seterusnya."

Berbeda dengan pemilu 1999, pemilu kali ini dinilai buruk karena beberapa indikator. Ray Rangkuti menyebut beberapa hal, salah satunya soal penyelenggara pemilu, yaitu KPU.

Ray merujuk pada sanksi pelanggaran etik berat Ketua KPU RI, Hasyim Asy'ari oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena melanggar prinsip profesionalisme dengan menjalin komunikasi tidak patut dengan peserta pemilu pada April 2023 lalu.

"Ini kali pertama penyelenggara pemilu, tahapannya baru dibuka mereka sudah disanksi oleh DKPP. Sanksinya pelanggaran etik berat loh, jangan main-main, yang diberikan kepada ketua KPU pada hal waktu itu tahapannya baru dimulai."

Ia juga menyetil pengiriman surat suara ke Taiwan yang dilakukan di luar jadwal, serta tidak adanya sanksi tegas terhadap Mayor Teddy Indra Wijaya, yang diduga melanggar netralitas TNI dengan menghadiri debat capres menggenakan kostum penudukung salah satu kandidat.

Menurut Ray Rangkuti, ada kejanggalan dalam kasus Mayor Teddy karena yang menentukan terjadi pelanggaran bukan Bawaslu yang punya otoritas tetapi justru institusi TNI sendiri.

"Mayor Teddy nggak terjadi apa-apa. Bukan Bawaslu yang menyikapi, institusi TNI yang langsung menyikapi lalu Bawaslunya, oke," katanya.

"Jadi TNI mengatakan itu dalam rangka menjalankan tugas, Bawaslu mengatakan, oke. Jadi yang menentukan ada atau tidaknya pelanggaran pemilu bukan lagi Bawaslu tetapi institusi yang lain," tambahnya.

Yang paling parah dari itu semua, kata Ray Rangkuti adalah temuan PPATK soal adanya aliran kampanye ilegal yang masuk ke sejumlah peserta pemilu dan jumlahnya sangta besar, yaitu triliunan.

"Lalu apa kerja Bawaslu, lagi-lagi diam saja," kata Ray Rangkuti.  

Editor : Rian

Tag : #kontras    #ham    #nasional    #demokrasi mundur    #setara institute    #demokrasi memburuk   

BACA JUGA

BERITA TERBARU