parboaboa

Cerita Zefanya dan Keluarga: Tergusur Proyek UIII dengan Cara Tak Manusiawi

Muazam | Nasional | 06-08-2023

Aris menunjukkan lokasi bekas rumahnya yang digusur. Kini, berdiri megah kampus UIII. (Foto: PARBOABOA/Muazam)

PARBOABOA, Depok - Zefanya Sangi (21) masih ingat betul kejadian pilu yang menimpanya dan keluarga, 7 November 2019.

Saat itu, rumahnya di Kampung Bulak, Cisalak, Depok digusur paksa untuk pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Sekitar 2.600 personel tim gabungan TNI, Polri dan Satpol PP lengkap dengan alat berat mendatangi rumahnya.

Zefanya kala itu masih berusia 17 tahun, sedangkan adiknya, Floria Hilary Heda berumur 15 tahun. Keduanya masih ada di dalam rumah saat penggusuran. Mereka yang tak tahu apa-apa tiba-tiba saja dipaksa keluar oleh personel gabungan.

“Mereka maksa masuk rumah, kami ditarik Satpol PP yang cewek-cewek. Floria didorong sampai jatuh ke got,” ceritanya, Sabtu (5/8/2023).

Bedeng tempat berlindung keluarga Aris, usai rumahnya digusur paksa. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Tak terima adiknya didorong, Zefanya lantas mendorong balik Satpol PP itu dan memukulnya. Namun, karena kalah jumlah, akhirnya mereka berdua hanya menangis, tak bisa berbuat banyak melihat aparat merusak rumah yang ditinggalinya sejak lahir.

Sementara orang tua Zefanya, Jeremias Ndiang (47) sedang berdebat dengan aparat di luar rumah dan ibunya, Fransisca Xaveriana Timbu sibuk menggendong adik Zefanya, Avriliana Dao yang baru berusia 2 tahun.

Penggusuran yang menimpa keluarga Jeremias Ndiang itu berbekas di benak anak-anaknya. Mereka takut jika kejadian serupa terulang kembali. Begitu juga dengan adiknya, Avriliana.

“Adik saya yang kecil setiap lihat polisi takut, terus kalo dengar teriakan kencang dia takut,” ujar Zefanya.

Penggusuran Tak Manusiawi

Beko merobohkan rumah Aris pada 7 November 2019. (Foto: Dok/Aris) 

Jeremias dan istrinya Fransisca, mengaku tak diberi waktu sedetik pun membenahi perabot rumah mereka sebelum digusur.

“Istri saya minta waktu dua jam buat mengeluarkan barang-barang tidak boleh, terus dia juga minta waktu untuk pamit dengan rumah juga gak boleh,” ujar Jeremias kepada Parboaboa.

Pria yang akrab disapa Aris itu menyebut, semua perabot miliknya dilempar keluar. Petugas yang menggusur bahkan memecahkan kaca rumah.

Usai mengeluarkan perabot dan merobohkan rumah, personel gabungan itu pergi begitu saja, sambil membawa hasil kebun milik Aris.

“Jatuhnya kayak penjarahan tahun 1998, habis robohkan rumah orang, ada hasil tanaman mereka bawa pakai karung. Mau maling apa-apa?” jelasnya.

Sebelum digusur Aris mengaku tak pernah diberi surat peringatan ihwal penggusuran rumahnya tersebut. Tiba-tiba saja rumah Aris yang berdiri di atas tanah seluas 3.120 meter yang berisi pohon sengon dan kolam ikan bawal digusur.

Setelah digusur, lahan yang ia tempati sejak 2001 itu ditawari ganti rugi sebesar Rp35 juta. Namun, ia menolaknya dan mempertanyakan dasar dari nilai ganti rugi tersebut.

“Penggusuran itu saya rasa tidak manusiawi. Yang digusur itu cuma dua rumah, punya saya dan Pak Axio, masa personelnya sebanyak itu,” ujar Aris.

Usai lahannya dirampas, Aris memulai lagi kehidupan dari nol. Ia pun terpaksa tinggal di bedeng dengan kondisi ala kadarnya. Bahkan rumah yang saat ini mereka tinggali merupakan pemberian sementara tetangga mereka.

“Sampai saat ini saya tidak menerima ganti rugi sepeserpun,” tegasnya.

Pengerahan Personel saat Penggusuran Langgar HAM

Istri Aris, Fransisca berdebat dengan aparat saat bedengnya didatangi polisi dan TNI pada Juli 2023 lalu. (Foto: PARBOABOA/Muazam) 

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta berpandangan, pengerahan personel besar-besaran dalam menggusur merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Apalagi, pelibatan aparat TNI dalam penggusuran telah melanggar Undang-Undang TNI dan prinsip HAM. Padahal, Pasal 7 UU TNI menegaskan bahwa tugas TNI adalah menjaga kedaulatan negara dan mempertahankan keutuhan wilayah.

“Pengerahan aparat keamanan lintas satuan kerja dengan jumlah besar justru menimbulkan suasana ketakutan yang bukan hanya menyebabkan ketakutan terhadap warga terdampak, melainkan juga menyebabkan aktivitas sosio-ekonomi warga sekitar terganggu,” ujar pengacara publik LBH Jakarta, Fadhil Alfathan.

Pelibatan TNI sudah menjadi pola umum dalam kasus penggusuran di sejumlah wilayah Indonesia. Apalagi menurutnya, mayoritas kasus penggusuran selalu dibarengi dengan intimidasi, kekerasan dan perampasan hak masyarakat.

Diketahui, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dibangun sejak 2018.

Ada 3 tahap pembangunan, yakni tahap I tahun 2018-2020, yang terdiri dari tiga paket pembangunan meliputi Gedung Rektorat, Gedung Fakultas A, dan Kawasan Tiga Pilar.

Tahap II tahun 2020-2023 yang meliputi, Gedung Perpustakaan Pusat sebanyak 8 lantai dengan luas 16.556 meter persegi, apartemen mahasiswi berjumlah 8 lantai dengan luas 12.615 meter, dan masjid kampus 2 lantai dengan luas 5.200 meter.

Tahap III tahun 2023-2024, meliputi Gedung Fakultas B setinggi 4 lantai seluas 14.590 meter persegi, perumahan dosen sebanyak 10 unit, dan Tempat Pengelolaan Sampah Reduce Reuse Recycle (TPS3R).

Kampus internasional ini dibangun di atas lahan eks Radio Republik Indonesia (RRI) seluas 142 hektare, salah satu di antaranya ditempati Aris dan keluarga.

Editor : Kurniati

Tag : #uiii    #penggusuran    #nasional    #proyek uiii    #penggusuran tak manusiawi    #pelanggaran ham    #keadilan    #depok    #jawa barat   

BACA JUGA

BERITA TERBARU